Sejarah
gerakan perempuan Indonesia tak bisa lepas dari namanya. Beliau bernama Umi
Sardjono, lahir di Semarang pada 24 Desember 1923 dan meninggal di usia 88 tahun.
Semasa muda Umi mengenyam pendidikan di Semarang hingga kuliah di Akademi
Sosial Politik, lantas melanjutkan sekolahnya di Jakarta pada 1950-an.
Umi
meninggal di kampung halamannya, semasa sakit Umi dirawat seorang keponakan dan
ia juga yang sudah menemani Umi hingga menutup mata. Kampung halaman Umi berada
di Jalan Tegalan, Matraman, Kampung Melayu, Jakarta Pusat.
Umi juga
tercatat sebagai salah satu penghuni Panti Waluyo Sejati Abadi di Jalan Kramat V,
Jakarta. Di panti tersebut, Umi tinggal bersama belasan perempuan korban 1965.
Panti yang diresmikan Gus Dur dan Taufiq Kiemas itu menampung para korban
G30S/1965 yang rata-rata pernah dipenjara minimal 11 tahun.
Dikisahkan
semasa zaman pendudukan Jepang, Umi membuka warung di depan markas tentara
Peta, yang digunakan sebagai pos penghubung antara para aktivis dengan kelompok
gerakan komunis bawah tanah. Umi merupakan istri seorang pria benama Sukisman
(seorang pemimpin PKI), tentunya secara langsung Umi juga merupakan anggotanya.
“Aku terjun
ke politik karena ingin bergabung di organisasi. Dulu organisasi perempuan lain
diskriminatif karena posisi sosial. Maka saya ingin dirikan organisasi
perempuan sendiri. Saya ajak teman, SK Trimurti (menteri perburuhan saat itu).
Kami dirikan Gerwis, lalu Gerwani,” ujar Umi yang disampaikan dalam wawancara
terbuka bersama jurnalis tahun lalu.
Konsep
gerakan perempuan sudah ada di kepala Umi sejak ia bergabung di Barisan Buruh
Wanita yang ada di bawah Partai Buruh Indonesia (PBI). Umi berpikir bahwa
sebuah organisasi perempuan dengan para kader yang memiliki kesadaran politik,
merupakan kebutuhan mendesak.
Umi lahir di
Salatiga pada 23 Desember 1924. Ayahnya seorang lurah, juga pejuang nasionalis.
Darah pejuang Umi berhulu jauh pada kakek buyutnya yang seorang prajurit
Diponegoro. Setelah kalah perang melawan Belanda pada 1830, sebagian pasukan
Diponegoro menyingkir ke Salatiga. Babad alas, membuka lahan pertanian dan
beranak-pinak disana. Kakek Umi salah satunya.
Umi
menetapkan jalan revolusioner sejak gadisnya. Merekah cantik di usia 20-an
tahun, dia bergabung dalam pasukan gerilya. Ia anggota Laswi (Laskar Wanita)
dan bertempur di garis depan melawan Jepang.
“Anggota
Laswi itu ratusan. Ada di tiap kabupaten. Waktu itu kan semangat revolusi
kemerdekaan, semua orang terpanggil berjuang dalam perang gerilya. Laswi
memiliki beberapa unit, yakni dapur umum, palang merah, kurir dan garis depan.
Bu Umi ini penah jadi kurir, juga pernah di garis depan. Pegang senjata lho
jeng!“ imbuhnya. Lestari bertubuh mungil dan ramah. Selalu menambahkan ‘jeng’
dalam kalimatnya. 11 tahun ia mendekam di penjara Malang”, tutur Umi.
Gayung
bersambut saat seorang kawan dari Laskar Perempuan mengajak Umi membangun
organisasi perempuan. Ia kemudian juga menggandeng Menteri Perburuhan di Era
Kabinet Amir Sjarifuddin, SK Trimurti.
Ide
organisasi perempuan ini sempat ditentang oleh afiliasi tiga partai kiri (PKI,
Partai Sosialis Indonesia, dan PBI). Namun, Umi jalan terus. Pada 4 Juni 1950,
Umi dan Trimurti berhasil menghimpun tujuh organisasi massa perempuan dalam
wadah bernama Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis) yang berkantor di
Semarang.
Umi pernah tertangkap
di Blitar dan dijebloskan ke penjara dengan tuduhan membantu pemberontakan PETA
(Pembela Tanah Air) pimpinan Supriyadi. Di Blitar juga yang mempertemukannya
dengan dua orang penting dalam hidupnya, Sukisman Sarjono, aktivis PKI yang
kemudian dinikahinya, dan SK Trimurti, kawan seperjuangan sejak gadis hingga di
ujung senja. Paska Agresi militer II, Umi kembali terjun ke jalan gerilya.
Seperti Umi,
SK Trimurti yang akrab disapa Tri, juga keluar masuk penjara sejak muda. Tahun
1947, ia diangkat sebagai Menteri Perburuhan pada kabinet Amir Syarifudin. Tri
adalah ketua Partai Buruh Indonesia. Umi pun bergabung di sana.
Kemerdekaan
digenggam, namun perjuangan memerangi imperialisme belumlah tamat. Untuk memperkuat
perjuangan emansipasi, sejumlah perempuan memandang perlu dibangun satu
organisasi perempuan, yang berkesadaran politik. Berdirilah Gerwis (Gerakan
Wanita Indonesia Sedar), yang berkongres pada Juni 1950. Gerwis merupakan
gabungan dari tujuh organisasi perempuan. Tris Metty terpilih sebagai ketua,
Umi dan Trimurti sebagai wakil ketua. Tris Metty adalah karib Umi di Laswi.
Sejak awal
kiprahnya Gerwis menempuh jalan anti imperalisme. Membangun kesadaran perempuan
akan hak-hak politiknya, meningkatkan upah buruh, memperjuangkan kesejahteraan
dan pendidikan anak, merupakan beberapa visi yang disepakati dalam Kongres.
Pada Kongres berikutnya di tahun 1954, Gerwis beralih nama menjadi Gerwani. Umi
terpilih sebagai ketua umum. Harti Warto, Ny Mudigdo dan Salawati Daud sebagai
wakil ketua. Sekretaris Jendral dijabat oleh Sulami, Kartinah Kurdi, dan
Masyesiwi.
Jika pada
tahun 1950-an adalah masa-masa pembangunan ke dalam bagi Gerwani, 1960-an
adalah masa emas. Itu pula titik terpenting kepemimpinan Umi. Jumlah kader
bertambah subur. Program-program populis, mulai dari pendirian sekolah dan
penitipan anak, menyelenggarakan kursus-kursus pemberantasan buta huruf, hingga
kampanye pembebasan Irian Barat.
Diungkapkan
pada 4 Juni 1950, Umi dan SK Trimurti menghimpun enam organisasi massa
perempuan dalam wadah Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis) di Semarang.
Program utama Gerwis adalah menuntut UU Perkawinan, mengkampanyekan hak-hak
perempuan, serta memperjuangkan hak-hak kaum buruh dan tani.
Gerwis
kemudian berubah nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dalam kongres
pertama di Jakarta, Desember 1951. Dalam kongres ini Umi memenangi pemilihan
sebagai ketua umum tapi memilih mengundurkan diri dan menyerahkannya kepada
Suwarti Bintang, anggota PKI, yang juga teman baiknya. Yang akhirnya
menempatkan Umi di posisi sebagai wakil ketua, bersama Trimurti.
Namun pada kongres
kedua tahun 1954, ketika suara kongres mengkrucut menghendaki Umi sebagai
pemimpin Gerwani, akhirnya beliau bersedia menerimanya
Tahun 1959
Umi melangkah ke parlemen sebagai utusan dari fraksi Golongan Karya. Pupuler di
basis, di politik pengaruhnya pun makin diperhitungkan. Umi dikenal konseptor
dan piawai melakukan lobby.
“Bu Umi
orangnya sangat luwes. Bahkan dengan musuh-musuh politiknya seperti Mr. Kasman
Singodimejo dan Chairul Saleh pun, bu Umi bisa ngobrol dengan baik di luar
sidang, setelah sebelumnya sebelumnya berdebat keras sekali”, ungkap salah
seorang mantan anggota Gerwani.
Gerwani
mendidik kadernya untuk menjadi perempuan melek politik dan mandiri.
“Saban hari
kami turun ke basis-basis tani dan buruh, mendirikan TK Melati, penitipan anak
dan kursus buta huruf gratis, Umi mencatat, sekitar 1.500 balai penitipan anak
dibangun Gerwani pada tahun 1960-an. Para petani, buruh, tak perlu membayar.
Disitulah ladang rekrutmen anggota berlangsung efektif. Nilai-nilai Gerwani
yang dipasok ke anggotanya adalah kemerdekaan, kerja keras dan pengabdian pada
perjuangan”, jelasnya.
Bagaimana
hubungan Gerwani dengan PKI? Kendati tidak secara resmi berafiliasi, tak dapat
dimungkiri adanya kedekatan ideologi dan politik dengan PKI. Capaian
peningkatan kader pun banyak dinilai karena pengaruh PKI. Salah satunya, lewat
kerjasama dengan SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan Buruh
Tani Indonesia (BTI). Kader-kader Gerwani rajin menemui basis-basis buruh dan
petani. Melakukan kegiatan bersama, juga aksi solidaritas, memperjuangkan upah,
cuti haid bagi buruh perempuan, hingga memperjuangkan reformasi agraria bersama
BTI.
Mulai 1960-an,
Gerwani dominan dengan isu-isu imperialisme dan kolonialisme, mempertegas garis
politik Gerwani yang mendekat ke PKI. Umi menyatakan bahwa “program PKI
menjamin emansipasi dan hak sama untuk perempuan.” Di situ pula awal perpisahan
Umi dengan Trimurti, karibnya semenjak gadis. Dalam buku Saskia digambarkan
bagaimana Trimurti kecewa dengan dominasi PKI dalam Gerwani.
Bergabung
dalam pasukan gerilya sedari muda, Umi matang secara mental, pemikiran dan
politik. Umi membaca tulisan-tulisan Marx, juga Clara Zetkin, aktivis Bolsevik
yang sering dikutip Soekarno dalam Sarinah.
Gerwis
inilah yang kemudian dalam Kongres II di Jakarta mengubah nama menjadi Gerwani.
Dalam Kongres inilah Umi ditetapkan sebagai ketua umum. Sementara itu Harti
Warto, Ny Mudigdo dan Salawati Daud sebagai wakil ketua. Sekjen dipegang oleh
Sulami, Kartinah Kurdi, dan Masyesiwi.
Semua tokoh
tersebut kini sudah meninggal. Hampir semuanya pernah merasakan dinginnya
lantai hotel prodeo dan siksaan keji fisik dan seksual yang dilakukan tentara
Orde Baru. Selain Sulami, semua pemimpin tersebut dijebloskan ke penjara tanpa
pernah diadili. Umi dipaksa merasakan dinginnya penjara Bukit Duri selama 13
tahun dengan siksaan fisik dan psikis yang membuatnya bersikap sangat tertutup
sekeluarnya dari penjara.
Di masa
kepemimpinan Umi, anggota Gerwani meningkat pesat, dari 500.000 menjadi 1,5
juta dan memiliki cabang hampir di semua daerah. Program-programnya sangat
populis dan tak hanya terbatas dari isu perempuan. Mulai dari penolakan praktik
poligami, pendirian TK Melati dan penitipan anak hingga tingkat kecamatan guna
meringankan beban perempuan-perempuan petani dan buruh yang mesti membantu
suaminya bekerja, sampai kampanye perdamaian dunia.
Gerwani sendiri
mempunyai kegiatan tetap di bidang sosial, yakni kerap menyelenggarakan kursus
pemberantasan buta huruf, membangun sekolah, serta menangani masalah perempuan
buruh dan petani.
Umi Sarjono
percaya dan kerap mengajak wanita yang ditemuinya untuk meyakini berorganisasi
adalah alat perjuangan yang penting. Politik bukan hanya wilayah laki-laki.
“Perempuan
harus aktif, manut satu partai atau satu organisasi. Kita harus sabar,
perjuangan kita memang tidak gampang. Karena ini negeri agraris, wanita harus
progresif. Kita bukan negara industri, buruh lebih maju daripada petani. Buruh
itu sejak lahirnya sudah dinamis, punya karakter tersendiri yang terus dan harus
menghendaki perubahan,” ujar Umi menegaskan.
Salah satu
sikap Gerwani adalah menentang poligami, isu yang sudah menjadi kontroversi
sejak kongres perempuan pertama tahun 1928.
“Kami
menentang, dan kami putuskan tidak hanya menentang, tapi juga melaksanakannya
dalam organisasi. Tidak boleh ada orang poligami. Kalau ada yang poligami kita
nasehati, supaya nyingkir dulu. Jangan mimpin!” papar Umi.
Namun persoalannya
jadi lain ketika Sukarno mengawini Hartini pada 1962. Gerwani bergeming saja.
Gerwani, seperti ditunjukkan berusaha menjaga hubungan harmonis antara Sukarno
dan Partai Komunis Indonesia.
Waktu itu
kita belum punya UU Perkawinan. Jadi kita harus punya. Menurut Gerwani, UU
Perkawinan prinsipnya harus monogami. Tidak boleh bermadu. Kalau di organisasi
dilaksanakan. Kalau ada anggota yang dimadu tidak boleh jadi pemimpin,”
ujarnya.
“Sebetulnya
tidak begitu. Soalnya tidak sesederhana itu. Itu tanggung jawab pribadi.
Perkara monogami dan poligami, itu saja yang harus diatur dengan UU,” ujarnya.
Menutur Umi,
UU Perkawinan juga menjadi program yang diperjuangkan Umi Sarjono ketika menjadi
anggota Parlemen. Dia menegaskan bahwa perjuangan bagi UU Perkawinan harus
dipandang sebagai perjuangan melengkapi revolusi nasional.
Yang
menarik, Umi juga menyebut Gerwani memiliki pandangan terbuka terhadap
keberagaman termasuk seksualitas. Jika ada anggota Gerwani yang lesbian. Dulu
ketua saya juga punya ‘penyakit’ itu beliau bernama Tris Metty. Dalam
perkembangannya masyakat pun berubah stigma dan sejak 1993, homoseksual,
termasuk lesbian, sudah dicabut dari daftar gangguan penyakit jiwa”, ujar Umi.
Diungkapkan,
Tris Metty merupakan ketua pertama Gerwis, dan sebelumnya pernah jadi ketua
Rukun Putri Indonesia (salah satu organisasi yang kemudian bergabung ke dalam
Gerwis). Dalam konferensi bagi persiapan kongres pertama Gerwis di Yogyakarta,
dia digeser karena dianggap ”terlalu avonturir” lantas digantikan oleh
Trimurti. Tapi ada dugaan alasannya karena dia seorang lesbian, dan akhirnya
Tris Metty memutuskan untuk berterus terang kendati beliau seorang lesbianisme.
Di masa
kepemimpinan Umi Sarjono, anggota Gerwani meningkat dari 500 ribu menjadi 1,5
juta dan memiliki cabang hampir di semua daerah. Gerwani menjadi organisasi
perempuan terbesar di Indonesia. Belum ada satu pun organisasi perempuan modern
mampu menghimpun anggota sebanyak itu hingga kini.
“Kerjasama
dengan serikat buruh dan Buruh Tani Indonesia (BTI). Jadi kita bagi pekerjaan.
Kalau kita mau perluasan anggota, kita temui basis buruh dan petani. Lalu kita
rapat bersama. BTI itu mendukung, jadi kita gampang”, ungkap Umi.
Menurutnya, dana bukanlah persoalan. Untuk
biaya operasional, setiap anggota membayar iuran 5 sen.
“Kalau ongkos-ongkos
ditanggung sendiri. Namun beda lagi jika itu konferensi internasional, ada
bantuan pemerintah, meski sedikit, atau mendapat biaya dari pengundang”, jelas
Umi.
Saat
memimpin Gerwani, Umi menghadiri berbagai acara Gerakan Wanita Demokratis
Sedunia (GWDS) di Helsinki, Berlin, Praha, Moskow, Al jazair, dan Peking
(Beijing).
“Setidaknya
setahun sekali saya pergi ke luar, antara lain ke Berlin, Praha, Moskwa,
Aljazair, dan ke Peking (Beijing-red). Saat ke Aljazair, saya pergi dengan
rombongan Bung Karno,” kisahnya saat itu.
Dalam
keanggotaan GWDS, menurut Umi, Gerwani merupakan organisasi yang cukup maju. Ia
menyebutnya progresif. Gerwani ikut serta dalam Sidang Dewan GWDS di Beijing
yang menghasilkan beberapa tuntutan, antara lain menghentikan perlombaan
senjata, melarang percobaan senjata atom, serta sebuah rekomendasi untuk
menyelenggarakan Konferensi Wanita Asia-Afrika guna memperluas perdamaian dan menghapus
perang.
“Dulu
Gerwani gabung dengan Gerakan Wanita Demokratis Sedunia (GWDS) atau World Women
Democratic Federation. Tujuan kita adalah perdamaian dunia. Jadi kalau ada
konflik regional jangan dibiarkan terus, harus cepat diselesaikan. Kita
bersatu, sesama buruh, petani, pemuda, ada komite perdamaian di situ.
Programnya untuk mempertahankan perdamaian dunia”, tambahnya.
Saat
Indonesia bersiap menjadi tuan rumah Konferensi Asia-Afrika di tahun 1955, Umi
membuat tulisan panjang di koran Harian Rakjat berjudul “Sumbangan Wanita dalam
Menyambut Konferensi Asia-Afrika.” Artikel yang terbit tanggal 13 April 1955
itu menyebut bahwa KAA tak hanya punya makna bagi perdamaian di kawasan
regional dan Afrika, tapi juga perjuangan perempuan.
Sebagai
gerakan progresif, Gerwani kerap dituding sebagai gerakan feminis dari Barat.
“Tidak hanya
Barat, tapi juga gerakan komunis, kekiri-kirian. Tapi ya kami jalan terus. Kami
buka pintu yang lebar untuk kerjasama, kerjasama untuk panitia 8 Maret (Hari
Perempuan Internasional), kerjasama untuk aksi menuntut UU Perkawinan dan isu
lainnya. Sabar saja, saya kira ada prosesnya”, papar Umi.
Umi Sarjono
mengungkapkan bahwa keputusan tentang ke mana Gerwani harus “berpayung” baru
akan dilakukan dalam Kongres kelima Gerwani pada Desember 1965. Namun, sebelum
Kongres digelar, peristiwa Gerakan 30 September 1965 terjadi dan mengubah
semuanya, dimana para aktivis Gerwani diburu sebagai pesakitan.
Hubungan
Masyumi dan Gerwani, yang secara politik dekat dengan PKI, ibarat dua kutub
yang saling berhadapan. Sementara Chairul Saleh ketua MPRS (Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara), pendiri partai Murba (Musyawarah Rakyat
Banyak), juga musuh berbuyutan Gerwani dan PKI.
Umi rajin
menyambangi berbagai organisasi perempuan untuk diajak bekerjasama. Misalnya
dalam peringatan hari Kartini atau hari perempuan internasional, Umi melibatkan
mereka dalam kepanitiaan bersama.
“Kowani dan
Perwari itu termasuk yang sulit untuk dilobby. Ibu Sartowiyono pimpinan Perwari
itu galak sekali. Keras. Tapi ia baik sekali dengan Bu Umi. Itu karena lobi Bu
Umi, dengan dibantu dr Hurustriati Subandrio dan Utami Suryadarma, istri
Panglima AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) Surjadi Suryadarma. Dengan
ketua Kowani Yetty Noor dari PSI (Partai Sosialis Indonesia), juga akrab
sekali”
Kowani
(Kongres Wanita Indonesia) adalah sebuah organisasi besar. Di dalamnya ada
Fatayat NU, Muslimat, Wanita Katolik, Perwari (Persatuan Wanita Republik
Indonesia), Wanita Demokrat (Marhaen). Sri menilai, kedekatan dengan Trimurti
lah salah satu yang membentuk keluwesan politiknya. “Bu Umi ini orangnya
Trimurti. Khasnya adalah merangkul orang lain yang bukan PKI.”
Hubungan
dengan Soekarno pun cukup dekat. Sri masih mengingat dengan jelas bagaimana
kegigihan Umi menerobos protokoler istana, demi melobi Soekarno untuk memberi
sambutan dalam perayaan ulangtahun Gerwani ke 15, 4 Juni 1965.
“Waktu itu
DPP Gerwani sudah mengirimkan surat ke Sekretariat Negara (Setneg). Sudah satu
bulan dan tak ada tanggapan.“
Acara hendak
dimulai beberapa jam lagi, jawaban dari Setneg belum ada. Jam 14.00, Umi
Sarjono mengajak Salawati dan Sri Sukatno menghadap Soekarno di istana.
“Kenapa
mendadak???” nada Soekarno meninggi.
Umi
menjelaskan. Tanpa banyak bicara, Soekarno mengiyakan. Istirahat sebentar,
berganti baju dan mereka pun berangkat. “Bung Karno duduk di jok belakang, di
sampingnya bu Umi, bu Salawati dan saya.” Mobil Indonesia-1 pun melaju ke
Senayan.
Ribuan massa
tumpah ruah di Senayan, sebuah gedung megah yang dibangun 1962 untuk acara
GANEFO (Games of the New Emerging Forces), ajang olahraga tandingan Olimpiade,
sebuah gagasan Soekarno. Bendera merah putih dan melati sebagai lambang
Gerwani, berkibar-kibar di segala penjuru.
“Pokoknya
Senayan penuh sesak. Orang-orang pakai baju biru semua, seragam Gerwani. Moment
itu pertama kalinya ulang tahun Gerwani dirayakan besar-besaran.
“Saya
menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia termasuk Gerwani agar mendukung
perjuangan nasional bangsa Indonesia untuk menyukseskan Dwikora dan Trikora!!”,
ungkap gerwani seraya mengenang pidato Soekarno di Senayan.
Di atas
podium Umi berdiri tegak. Laporan kemajuan Gerwani, penambahan jumlah kader dan
cabang, disambut sorak sorai massa 10 ribuan massa. Tepuk tangan dan yel-yel
tak putus-putus. Mars Gerwani pun bergaung seantero Senayan.
Acara makin
semarak dengan berbagai pentas seni. Tari-tarian dengan kostum meriah dari
Baperki, Ensamble Gentasuri, Koor terbaik pimpinan Made Yase, juga beberapa
kesenian daerah.
Bing Slamet,
seniman yang dekat dengan Lekra dan seorang Soekarnois, menyumbang lagu.
Mawarti Sudarnoto, penyiar RRI bersuara renyah, kesayangan Soekarno, didapuk
sebagai pembawa acara. Perayaan ulang tahun ke 15 Gerwani kala itu menjadi
headline di semua koran. Namun setelah empat bulan kemudian, huru-hara pun itu
terjadi.
Dikabarkan
terjadi penculikan enam jendral TNI AD pada 30 September 1965, sehingga isu
tersebut mampu menjungkirbalikkan konstelasi politik. Dimana PKI, dan seluruh
organisasi kiri dituding sebagai pelaku pemberontak. Pengurus, anggota dan
simpatisannya diburu hingga ke lubang tikus. Kantor-kantor mereka dibakar.
Rumah dan asset pribadi dijarah. Ratusan ribu dijebloskan ke penjara atau
ditembak mati tanpa diadili.
Oktober
1965, Umi ditangkap usai bersidang di Senayan. Berlima dengan Salawati Daud,
Ny. Mudigdo, Siti Aminah dan Dahliar, ia digelandang ke markas Kostrad.
Diinterogasi berhari-hari, hingga akhirnya dijebloskan ke penjara Bukit Duri,
13 tahun lamanya.
Umi
ditangkap saat pulang dari kantor. Seperti banyak anggota Gerwani lainnya, Umi
dipenjara di penjara Bukit Duri selama 13 tahun tanpa diadili. Dia menerima
siksaan fisik, seksual, dan psikis oleh tentara Orde Baru yang membuatnya
bersikap tertutup sekeluarnya dari penjara.
Perlakuan Rejim Suharto
Terhadap Umi Sardjono dan Gerwani
Kalau
mengingat itu semua, dan kemudian memperhatikan perlakuan rejim militer Suharto
terhadap Umi Sardjono dan organisasi perempuan Gerwani yang dipimpinnya sesudah
terjadinya G30S, maka bisa dimengertilah bahwa banyak orang mengatakan dengan
kemarahan besar atau emosi yang meluap-luap – bahwa penguasa militer Suharto
dengan para jenderal yang mendukungnya adalah sekelompok oknum-oknum yang
merupakan sampah bangsa, atau penyakit parah yang membikin rusaknya jiwa banyak
orang Indonesia.
Perlakuan
terhadap Gerwani dan Umi Sardjono, pimpinan tertinggi organisasi perempuan yang
terbesar di Indonesia (sekitar 1,5 juta anggotanya di seluruh Indonesia) dan
tokoh yang terkenal sebagai pendukung
politik Bung Karno, adalah sekelumit kecil saja dari dosa-dosa rejim militer Orde Baru. Dosa-dosa besar ini
tidak bisa – dan tidak boleh !!! – dilupakan sama sekali oleh bangsa Indonesia
berikut generasi-generasi yang akan datang.
Umi Sardjono
ditangkap dan dipenjarakan belasan tahun setelah terjadinya G30S, tanpa putusan
pengadilan, tanpa kesalahan apa-apa, seperti halnya puluhan ribu pengurus
GERWANI di seluruh daerah Indonesia. Banyak di antara mereka ini yang telah
dibunuh begitu saja, atau ditahan dan disiksa (termasuk diperkosa). Sebagian
dari tokoh-tokohnya dipenjara bertahun-tahun
(bahkan banyak yang sampai belasan tahun) berpindah-pindah di Cipinang,
Bukitduri, Plantungan, dan berbagai penjara atau tempat tahanan (di
Kodim-kodim) di seluruh Indonesia.
Penderitaan
para anggota atau simpatisan Gerwani, akibat penyiksaan secara fisik dan mental
secara besar-besaran dan berjangka lama ini dapat disimak dalam berbagai
tulisan atau dokumen yang sudah beredar selama ini. Para penguasa rejim militer
Suharto adalah betul-betul merupakan orang-orang yang berakhlak rendah, atau
oknum-oknum yang sama sekali tidak berhak dan juga tidak pantas menyebutkan
diri mereka sebagai orang-orang yang beradab dan bermanusiawi.
Orde Baru
Lancarkan Propaganda Penghancuran Peran Gerwani
Orde Baru
telah selama 32 tahun secara sistematis, terus-menerus, dan secara luas serta
berjangka panjang kian gencar menyebar banyak sekali kebohongan dan segala
macam fitnah, untuk menimbulkan kebencian masyarakat luas terhadap Gerwani (dan
PKI).
Di antara
kebohongan atau fitnah itu adalah bahwa Gerwani terlibat dalam G30S. Padahal,
banyak bukti-bukti yang menunjukkan dengan gamblang sekali bahwa kebanyakan
pengurusnya atau anggota-anggotanya baik di tingkat nasional maupun daerah idak
ada yang tersangkut (sedikit pun) dalam
G30S. Bahkan, mengetahuinya sedikit pun juga tidak.
Dalam jangka
yang lama sekali koran-koran dan majalah jaman
Orde Baru menyiarkan cerita-cerita gila, atau isapan jempol, atau
dongeng-dongeng tentang Gerwani, umpamanya bahwa organisasi perjuangan ini
adalah gerakan perempuan yang asusila atau menganjurkan sex bebas serta pelacuran. Banyak cerita yang dikarang-karang
tentang anggota Gerwani yang ikut mencukil mata, bahkan memotong kemaluan atau
menyayat-nyayat para jenderal yang terbunuh dengan silet.
Cerita gila
dan fitnah yang keterlaluan busuknya dan juga yang pernah banyak beredar (dan
terkenal) adalah upacara pesta gembira di Lubang Buaya dengan terbunuhnya para
jenderal. Dalam upacara yang diberi nama “Harum Bunga” ini anggota-anggota
Gerwani menari-nari dan menyanyi-nyanyi
dengan telanjang. Sudah jelaslah kiranya bahwa segala kebohongan yang
begitu besar dan semua fitnah yang begitu busuk itu tentunya tidak bisa datang
dari fikiran orang-orang yang sehat jiwanya atau waras nalarnya.
Harus Dilakukan Rehabilitasi
Pelurusan Sejarah Untuk Gerwani
Gerwani,
organisasi yang dibangun selama 15 tahun, yang bervisi tegas memperjuangkan hak
perempuan dan melawan imperialisme itu pun tumbang. Organisasi dengan anggota
1,5 juta runtuh seketika. Babak baru tergelar. Gerwani dicap sebagai organisasi
beringas dan amoral. Umi meradang. Dalam pemeriksaan, berkali-kali ia menolak
fitnah keji terhadap Gerwani.
Tahun 1998, rezim
Soeharto tumbang setelah berkuasa 32 tahun. Ruang demokrasi melonggar.
Lawan-lawan politik yang dulu dipenjarakan, mulai lantang bersuara. Narasi
kebohongan Soeharto sedikit-sedikit dilucuti. Organisasi korban 1965 pun
bermunculan, menuntut pemerintah untuk mengusut tuntas pelanggaran HAM berat
pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI.
Dalam gegap
gempita itu, banyak pertanyaan, kenapa Umi tidak banyak bersuara? Memoar yang
ditunggu-tunggu darinya juga tak muncul. Padahal dia orang nomor satu di
Gerwani.
“Bu Umi
merasa sangat bersalah. Terutama kepada anggota, pada orang-orang yang tidak
bersalah itu. Termasuk tujuh orang gadis yang dituduh menyilet-nyilet itu.
Tanggungjawab sebagai pemimpin itulah yang membuatnya sangat tertekan….” tutur
Ruth Indiah Rahayu (yuyud) seorang aktivis perempuan. Sekaligus istri mantan
ketua CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia), almarhum Hardoyo. Umi dan
Hardoyo sama-sama anggota DPR GR.
Hal senada
juga diungkapkan oleh Sri Sukatno, yang pernah sama-sama menghuni penjara di Bukit
Duri. Rurt mengaku mengetahui secara benar bagaimana Umi sangat perhatian
terhadap anak-anak ini (perempuan yang difitnah dan dihukum sebagai pelaku
penyilet kemaluan ke enam jenderal TNI).
“Dulu, kalau
jadwal besuk adalah Rabu dan Minggu. Bu Umi sering di besuk oleh saudaranya.
Kalau bawa makanan, bu Umi suka umpetin, bukan buat dimakan sendiri, tapi
dibagikan kepada 7 anak ini”, ungkap Sri menegaskan.
Sejenak
suara Sri tertahan lantas meneruskan ucapannya, Sri mengaku melihat sendiri Umi
mengurus anak-anak yang gak ngerti apa-apa itu. Mereka kemudian diajarkan membaca
entulis dan bahasa Inggris. Bu Umi sabar sekali, meski kebanyakan dari mereka
itu akhirnya gila karena terus-terusan disiksa para tentara.
Tujuh gadis
ini berasal dari kampung, ada yang dari Banten, Jawa Barat dan Jawa Timur.
Diajak ke Jakarta dengan iming-iming bekerja di restoran. Sampai Jakarta,
mereka dilemparkan ke tangan germo. Dipaksa melacur, dan tertangkap dalam pada
akhir September 1965. Tentara segera membangun sebuah dongeng baru, gadis-gadis
ini sebagai tokohnya.
“Mereka itu
Eny, Jamilah, Henny, Jujuk, Waginah, dan Karsiah yang disiarkan di RRI (Radio
Republik Indonesia), sebagai anggota Gerwani yang nyilet-nyilet penis jendral
itu. Mereka disiksa habis-habisan. Kepalanya dibenamkan ke bak mandi, disundut
rokok, dipopor senapan. Tak tahan, mereka meneken saja Berita Acara yang dibuat
petugas. Jadilah skenario mereka sebagai anggota Gerwani yang biadab!” tutur
Sri dengan geram.
Rangkaian
horor Gerakan 30 September terus beredar. Dalam buku Terempas Gelombang Pasang,
Sudjinah, mantan pengurus DPP Gerwani melukiskan bagaimana para perempuan itu
disuruh menari telanjang di penjara Bukit Duri. Foto-foto itulah yang kemudian
disebar di koran Angkatan Bersenjata, Berita Yudha dan dikutip koran-koran
lainnya. Setiap hari, hingga bertahun-tahun lamanya.
Tahun
1980-an, Ben Anderson, ahli Indonesia dari Universitas Cornell melansir temuan
baru berupa bukti visum tim dokter, yang menyibak fakta bahwa kekejaman berupa
penyayatan kelamin itu bohong belaka. Tapi kampanye fitnah terus berjalan tanpa
pandang bulu, dengan media pers sebagai corongnya. Soekarno berkali-kali
menolak bangunan fitnah yang menghantam kelompok kiri itu. Apa daya, kekuasaan
sudah terenggut dari tangannya.
Umi dan
beberapa anggota DPR GR di penjara Bukit Duri tak mengalami siksa fisik. Tapi
Umi harus menyaksikan bagaimana ketujuh gadis-gadis ini disiksa. Mendengar para
pengurus Gerwani di cabang, ranting ditangkapi dan dijebloskan ke penjara. Para
anggota dan simpatisan dikejar-kejar. Para guru TK Melati hilang malam-malam
tak tentu rimbanya.
Tanggungjawabnya
sebagai pemimpin terluka. Umi terluka. Itu membuatnya tak sanggup bersuara.
Umi keluar
dari Bukit Duri pada 1976, dijemput oleh Ngastiyah adiknya. Saat itu Sukisman
masih mendekam di Pulau Buru. Umi kemudian menempati rumah kecil di Tegalan,
Matraman (Depan Toko Buku Gramedia) Jakarta Timur, milik ponakannya Narti
Sutomo, yang dianggapnya sebagai anak angkat. Pernikahan dengan Sukisman tak
membuahkan anak.
Rumah di
gang sempit itu berjarak tak lebih 500 meter dari bekas kantor Gerwani.
Sekarang di lahan itu berdiri sebuah restoran padang.
“Tetangga-tetangga
tahu gak kalau Bu Umi itu pimpinan Gerwani?” Saya bertanya ke beberapa orang
tetangganya.
“Gerwani sih
tahu. Tapi posisinya persis sebagai ketua, saya rasa tidak….” jawab Ning. Rumah
Ning persis di depan rumah Umi. Ia warga asli Tegalan. Usianya 50-an tahun.
Berperawakan kecil dengan rambut pendek. Kendati tak ada hubungan saudara, ia
mengakui cukup dekat dengan keluarga Umi. Dulu, ia kerap berlatih angklung di
kantor Gerwani.
“Tetangga
baik kok pada Bu Umi. Gak reseh. Mungkin karena Bu Umi juga baik. Cuma memang
gak pernah ikut kegiatan di kampung. Mungkin karena udah tua dan sakit-sakit.”
tambahnya.
Sukisman dan
Umi pernah membuka warung tenda di Tegalan. Jualan mie ayam, bakso, es serut. Namun,
ketika Sukisman jatuh sakit, warungnya tak terurus. Bangkrut. Sukisman wafat
pada September 1991.
Lalu Umi
tinggal sendiri di Tegalan, ditemani suami istri Sukirno dan Ester.
Keponakan-keponakannya yang membantu keuangan, termasuk membiayai ketika Umi
masuk rumah sakit. Pemasukan lain diperoleh dari menyewakan kamar rumahnya.
Dulu ada beberapa kamar di lantai atas yang disewa. Sekarang, hanya satu kamar,
disewa ibu-ibu yang berjualan nasi goreng di dekat Gramedia. Harga sewanya 500
ribu sebulan.
Umi mulai
menderita berbagai penyakit usia tua. Diabetes, glukoma, jantung. Sebelumnya,
ia dikenal sangat gesit. Umi sering berkeliling kampung memakai tongkat,
berbelanja. Kendati, kadang-kadang dia sudah lupa dengan nilai uang yang
dibawanya.
Kendati daya
ingatnya masih jernih, kadangkala pikunnya menyerang. Umi sering sekali bilang
“Aku ki ora terlibat!” Umi benci sekali melihat acara “Silet” di televisi.
Kalimat “setajam silet” kerap membuatnya langsung menutup kuping dan masuk
kamar. “Opo, disilet-silet? Aku ora terlibat! Gak ada itu silet-siletan!”
Umi terpukul
ketika kehilangan kawan-kawannya, termasuk ketika Kartinah Kurdi, Sekjen
Gerwani, kawannya yang paling dekat wafat. Saat itu Umi tengah sakit, saudara
dan kawan-kawannya tak sampai hati mengabarkan berita duka itu. Beberapa hari,
setelah fisiknya menguat, seorang kawan membisikinya pelan-pelan.
“Ora.
Kartinah isih urip! Aku pengen ketemu!!” Umi meronta. Air mata menggenang di
sudut matanya. Ia terpukul sekali.
Trimurti
juga karibnya yang paling lama. Perkawanannya terentang lebih dari setengah
abad. Ia memanggil “Yu Tri.” Sama-sama di pasukan gerilya jaman Jepang,
membangun Gerwis, hingga akhirnya berpisah ketika Tri memutuskan keluar dari
Gerwani dan aktif di Murba. Di masa tua, mereka kembali saling mengunjungi.
Ester berkisah,
dulu sering diajak ke rumah Tri di daerah Salemba. Tri wafat pada 2008, dalam
usia 96.
“Waktu Bu
Tri meninggal itu, saya disuruh nganter ke pemakaman di Kalibata. Pakai kursi
roda”, kenangnya.
Setelah
kedua kawan berjuangnya pergi, Umi kembali bergelut dengan penyakit tuanya.
Sejak Februari 2010 sebelah kaki kirinya lumpuh. Saat itu ia tertabrak sepeda
motor ketika tengah berbelanja. Sejak itu ia hanya bisa terbaring di tempat
tidur.
Ketika saya
berkunjung ke rumahnya beberapa tahun silam, Umi jernih bertutur tentang rezim
SBY yang tak jauh beda dengan Soeharto, tentang keprihatinannya kekosongan
organisasi perempuan seprogresif dulu.
“Organisasi
perempuan harus kuat, harus progresif, harus politis…,” tuturnya Umi sembari mata
terpejam. Sebab, glukoma yang menyerang matanya telah membuat pandangannya
kabur.
“Bila ada
bantuan untuk dirinya, bu Umi memilih diberikan kepada anak-anak buahnya yang
lebih membutuhkan. Sumbangan untuk operasi glukomanya pun, dia berikan kepada
yang lain. Ia juga merasa bersalah, karena ia sebagai pimpinan, justru keluar
lebih dulu dari penjara. Lebih dulu dari kawan-kawan lainnya. Sekeluar penjara,
Bu Umi berkeliling ke anak buahnya, meminta maaf pada mereka. Ia adalah satu
dari sedikit pimpinan yang melakukan itu! “ tandas Ruth.
Sebuah dipan
berukuran sedang, lemari tua, meja kayu yang di atasnya berjajar beberapa buku.
Juga ada Alquran. Di dinding tergantung bingkai foto berukuran 10 R. Foto
ketika masih sebagai anggota DPR. Cantik dan bugar. Sebuah radio bertengger di
atas meja. Semuanya barang tua. Tak satupun yang mewah.
“Ini tulisan
budhe Umi….” Mimin menunjukkan sebuah buntalan plastik. Kertas-kertas kusam,
beberapa bundel fotokopi, juga beberapa lembar ketikan. Sebagian sudah bolong
dimakan rayap. Sebagian tulisan tangannya kabur dimakan usia.
“Dulu
sebelum matanya gak bisa lihat, Bu Umi masih suka mengetik sendiri. Ditulis
tangan, terus diketik. Saya yang disuruh bacakan ….“ kata Mimin.
Saya
membolak-balik tumpukan kertas itu. Tampak Umi berusaha keras menyusun
penggalan memoarnya. Umi menulis di kertas apa saja. Di balik soal sekolah
sampai fotocopy majalah. Dalam coretannya, berkali-kali Umi menegaskan, menolak
tuduhan terlibat Gerakan 30 September. “Ormas Gerwani yang didirikan untuk
menegakkan emansipasi wanita menentang diskriminasi gender, partisipasi dalam
perjuangan menyelesaikan revolusi nasional menentang kolonialisme. Sekarang
Gerwani diserang dengan fitnah sadis dan kotor. Semua tuduhan rekayasa dan
fitnah tak ada satupun yang bisa dibuktikan…” tulisnya.
Gerwani
adalah jalan hidup Umi. Belasan tahun ia membangun dan membesarkannya. Dan
Soeharto, meluluhlantakkannya seketika.
“Bagaimana
perasaanmu Min?”
“Ya sedih lah.
Sedih banget…” Mimin menunduk. Tangannya memencet-mencet HP. Umi banyak
menitipkan kisahnya pada Mimin, kendati barangkali gadis itu hanya sanggup
mencerna semampunya.
“Saban hari
Budhe cerita soal Gerwani, bagaimana dulu dia berpidato, kasih pendidikan,
keliling dunia kasih sambutan. Pasti dia orang hebat. Sangat penting. Trus
kesepian. Meninggal juga gak ada yang tahu…” Mimin kembali tersedu.
Menjelang
Ashar, tamu-tamu yang akan tahlilan mulai datang. Saatnya pulang. Sekali lagi,
saya menatap gambar Umi semasa muda. Segar dan cantik. Pancaran matanya kokoh.
Hatinya teguh.Sekarang Umi Sardjono sudah wafat. Terakhir ia tinggal di rumah seorang sahabatnya yang
merawatnya, karena satu kakinya lumpuh. Umi Sardjono pernah ditahan di penjara
di Bukitduri (Jakarta) sampai belasan tahun, seperti halnya banyak pimpinan
Gerwani lainnya. Meskipun tidak bersalah apa-apa sama sekali. Sejak dibebaskan
dari tahanan di penjara Bukitduri sampai wafatnya ia terpaksa hidup dengan
berbagai penderitaan.
Perlakuan
yang tidak manusiawi, yang melanggar HAM, yang bertentangan dengan peradaban,
yang melanggar hukum, yang semacam yang dialami Umi Sardjono inilah yang perlu
diangkat atau dipersoalkan dan dihujat terus-menerus oleh sebanyak mungkin dari
berbagai kalangan di Indonesia dewasa ini, dan untuk selanjutnya.
Sebab,
bangsa kita tidak bisa disebutkan sebagai bangsa yang beradab, bangsa yang
menghargai peri kemanusiaan, bangsa yang menjunjung keadilan, bangsa yang
berpedoman Pancasila, kalau membiarkan terus kasus Umi Sardjono seperti angin
lalu saja. Sebab, kasus Umi Sardjono hanyalah satu kasus saja dari jutaan kasus
yang serupa atau sejenis yang dialami oleh banyak orang di Indonesia. Artinya,
orang-orang yang tidak bersalah apa-apa sama sekali namun diperlakukan
sewenang-wenang (antara lain ditangkapi, disiksa, diperkosa, dipenjara bahkan dibunuh) hanya karena mereka mempunyai
sikap kiri atau pro-PKI.
Umi Sardjono
adalah pejuang politik yang sudah dipenjarakan karena memperjuangkan
kemerdekaan bangsa Indonesia. Ia kemudian menjadi pimpinan Gerwani dan sering berkunjung
ke Moskou, Berlin, Praha, Peking dan kota-kota lainnya.
Para
penguasa rejim militer Orde Baru (termasuk tokoh-tokoh GOLKAR) harus
bertanggung-jawab atas kesalahan atau kejahatan yang begitu besar, dan menebus
dosa-dosa mereka. Antara lain dengan minta maaf, dan mengakui kesalahan mereka,
dan berusaha dengan macam-macam cara dan segala jalan untuk merehabilitasi Umi
Sardono dan Gerwani serta memberi kompensasi selayaknya kepada mereka ataupun
keluarganya.
Dengan
merehabilitasi Umi Sardjono dan Gerwani, maka kita bisa mendudukkannya kembali
pada tempatnya yang seharusnya sebagai organisasi perempuan Indonesia yang
patut jadi kebanggaan seluruh bangsa Indonesia.
Rehabilitasi
Gerwani adalah satu langkah penting menuju rehabilitasi gerakan kiri Indonesia
pada umumnya. Dan rehabilitasi gerakan kiri Indonesia adalah penting untuk
kebaikan bangsa sebagai keseluruhan. Gerakan kiri adalah asset bangsa Indonesia
yang sangat diperlukan, seperti yang sudah ditunjukkan dengan gamblang sekali oleh era di bawah kepemimpinan Bung Karno.
Kisah Umi
Sarjono, yang keluar masuk penjara di masa revolusi kemerdekaan. Memimpin
organisasi perempuan terbesar. Meninggal dalam sunyi, di usia 88 tahun. Kita
berhutang untuk meneruskan perjuangan Gerwani. Dan negara selayaknya
merehabilitasi nama baiknya.
Saat dirawat
di Rumah Sakit Thamrin enam tahun lalu karena terjatuh dari kamar mandi, Umi
mengatakan bahwa ia tak ingin mati sebelum melihat sebuah gerakan perempuan
dengan kesadaran populis seperti Gerwani lahir di Indonesia. Kini, saat ia
benar-benar sudah menutup mata, terwujudnya impian Umi sepenuhnya bersandar
pada kesadaran para aktivis perempuan di generasi yang lebih muda. Semoga
impiannya tak sia-sia. (San)
Betway: Situs Judi Slot Online Deposit Pulsa Tanpa - VIVNOP
BalasHapusBetway Situs bet365 Judi Slot Online Deposit Pulsa Tanpa Potongan — Betway merupakan bk8 situs judi online ラッキーニッキー di Indonesia yang memiliki kumpulan mesin slot uang asli yang